Wednesday, January 15, 2014

Maraknya Tawuran antar Pelajar

Bermula dari kongkow-kongkow di satu tempat sepulang sekolah. Kemudian saling ejek mengenai hal-hal sepele. Lalu terjadilah perkelahian satu lawan satu yang akhirnya berubah jadi tawuran, melibatkan tiga hingga empat sekolah sekaligus.
Di Padang, yang demikian bukanlah barang baru. RTH Imam Bonjol, GOR H Agus Salim, Jalan Permindo, merupakan tiga tempat di Kota Padang yang menjadi tempat favorit siswa berkumpul dan bertemu satu sama lain.
Hampir setiap tahun terjadi. Dapat dikatakan, pelakonnya yang itu-itu juga, didominasi siswa sekolah menengah kejuruan (SMK). Tahun ini saja, dalam catatan Padang Ekspres, sudah terjadi 15 peristiwa tawuran.
“Awal mulanya saling ejek dan mempermasalahkan hal yang sepele. Seperti gaya rambut, rokok hingga soal cewek,” ungkap Rahmadi Putra, siswa salah satu SMK swasta di Kota Padang.
Untuk memulai tawuran sangat gampang. Apalagi dengan sekolah yang memang sudah menjadi musuh bebuyutan. Cukup dengan satu orang siswa saja yang bermasalah, semuanya akan ikut. Sebenarnya, banyakpula  para pelajar yang tidak mau terlibat tawuran. Hanya saja mereka yang tidak mau itu, sering mendapat tekanan dari teman-temang sekolahnya, yang pada akhir mereka pun terpaksa tawuran.
“Dari pada dikucilkan teman-teman, lebih baik ikut,” kata Bobi, salah seorang siswa SMK di Padang.
Tapi, rasanya  tidak fair jika menyalahkan siswa semata. Guru, pemerintah, dan orang tua juga memiliki andil dalam persoalan ini. Saat ini, banyak guru yang menjadi seorang pekerja, bukan pendidik.

Mereka semata-mata sekadar mentransfer bidang ilmu yang mereka kuasai kepada anak didik. Diluar  itu, hubungan guru dan murid, seperti hubungan orang yang tak saling kenal saja.  
Hal ini diakui siswa SMK swasta lainnya, Andri Juliandri. Dari pengakuannya, kadang kala guru tak memberikan contoh yang baik kepada anak didiknya. Bersikap seperti orang bengkel yang keras dan suka memanggil siswa dengan perkataan kasar.
Ini semua menyebabkan pendidikan karakter yang saat ini digadang-gadangk pemerintah provinsi, menemui jalan buntu. Sebab, dasar dari pendidikan karakter adalah suri tauladan dari pendidik.
Dalam hal ini, sebenarnya tidak hanya guru, tapi juga orangtua, sebagai ujung tombak dalam hal pendidikan berkarater tersebut.
“Pendidikan karakter adalah memberikan contoh dengan sikap jujur, disiplin, kesadaran, dan tanggung jawab. Guru harus memberikan contoh pada siswa, tidak hanya di kelas di lingkungan pun harus diperlihatkan guru. Jika guru telah memberikan contoh yang baik, tentu siswa akan ikut, sehingga pengawasan pada siswa akan lebih mudah,” ujar Prayitno, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Padang.
Namun ternyata, alumni sekolah, juga memiliki peranan dalam aksi tawuran para pelajar tersebut. Bahkan ada juga yang ikut serta. Ini diakui Febrian, salah seorang alumni sekolah kejuruan negeri.
Maka dari itu kita sebagai enerasi penerus bangsa harus bertindak tegas dalam menangani tawuran antar pelajar di indonesia.
Yang harus kita lakukan adalah terutama bagi sekolah dan pemerintah buatlah sekolah yang menyenangkan bagi muridnya karena Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan dari pada mengikuti pelajaran di sekolah.
             Kecerdasan emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisaMempengaruhi manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolak ukur seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus di musuhi.
Seragam sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan seragam.
 
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan terus berusaha dan tak kenal menyerah.


No comments:

Post a Comment