Bermula dari
kongkow-kongkow di satu tempat sepulang sekolah. Kemudian saling ejek
mengenai hal-hal sepele. Lalu terjadilah perkelahian satu lawan satu yang
akhirnya berubah jadi tawuran, melibatkan tiga hingga empat sekolah sekaligus.
Di
Padang, yang demikian bukanlah barang baru. RTH Imam Bonjol, GOR H Agus Salim,
Jalan Permindo, merupakan tiga tempat di Kota Padang yang menjadi tempat
favorit siswa berkumpul dan bertemu satu sama lain.
Hampir
setiap tahun terjadi. Dapat dikatakan, pelakonnya yang itu-itu juga, didominasi
siswa sekolah menengah kejuruan (SMK). Tahun ini saja, dalam catatan
Padang Ekspres, sudah terjadi 15 peristiwa tawuran.
“Awal
mulanya saling ejek dan mempermasalahkan hal yang sepele. Seperti gaya rambut,
rokok hingga soal cewek,” ungkap Rahmadi Putra, siswa salah satu SMK swasta di
Kota Padang.
Untuk
memulai tawuran sangat gampang. Apalagi dengan sekolah yang memang sudah
menjadi musuh bebuyutan. Cukup dengan satu orang siswa saja yang bermasalah,
semuanya akan ikut. Sebenarnya, banyakpula para pelajar yang tidak mau
terlibat tawuran. Hanya saja mereka yang tidak mau itu, sering mendapat tekanan
dari teman-temang sekolahnya, yang pada akhir mereka pun terpaksa tawuran.
“Dari
pada dikucilkan teman-teman, lebih baik ikut,” kata Bobi, salah seorang siswa
SMK di Padang.
Tapi, rasanya tidak fair jika menyalahkan siswa semata. Guru, pemerintah, dan orang tua juga memiliki andil dalam persoalan ini. Saat ini, banyak guru yang menjadi seorang pekerja, bukan pendidik.
Tapi, rasanya tidak fair jika menyalahkan siswa semata. Guru, pemerintah, dan orang tua juga memiliki andil dalam persoalan ini. Saat ini, banyak guru yang menjadi seorang pekerja, bukan pendidik.
Mereka
semata-mata sekadar mentransfer bidang ilmu yang mereka kuasai kepada anak
didik. Diluar itu, hubungan guru dan murid, seperti hubungan orang yang
tak saling kenal saja.
Hal ini diakui siswa SMK swasta lainnya, Andri Juliandri. Dari pengakuannya, kadang kala guru tak memberikan contoh yang baik kepada anak didiknya. Bersikap seperti orang bengkel yang keras dan suka memanggil siswa dengan perkataan kasar.
Hal ini diakui siswa SMK swasta lainnya, Andri Juliandri. Dari pengakuannya, kadang kala guru tak memberikan contoh yang baik kepada anak didiknya. Bersikap seperti orang bengkel yang keras dan suka memanggil siswa dengan perkataan kasar.
Ini
semua menyebabkan pendidikan karakter yang saat ini digadang-gadangk pemerintah
provinsi, menemui jalan buntu. Sebab, dasar dari pendidikan karakter adalah
suri tauladan dari pendidik.
Dalam hal ini, sebenarnya tidak hanya guru, tapi juga orangtua, sebagai ujung tombak dalam hal pendidikan berkarater tersebut.
Dalam hal ini, sebenarnya tidak hanya guru, tapi juga orangtua, sebagai ujung tombak dalam hal pendidikan berkarater tersebut.
“Pendidikan
karakter adalah memberikan contoh dengan sikap jujur, disiplin, kesadaran, dan
tanggung jawab. Guru harus memberikan contoh pada siswa, tidak hanya di kelas
di lingkungan pun harus diperlihatkan guru. Jika guru telah memberikan contoh
yang baik, tentu siswa akan ikut, sehingga pengawasan pada siswa akan lebih
mudah,” ujar Prayitno, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Padang.
Namun
ternyata, alumni sekolah, juga memiliki peranan dalam aksi tawuran para pelajar
tersebut. Bahkan ada juga yang ikut serta. Ini diakui Febrian, salah
seorang alumni sekolah kejuruan negeri.
Maka
dari itu kita sebagai enerasi penerus bangsa harus bertindak tegas dalam
menangani tawuran antar pelajar di indonesia.
Yang
harus kita lakukan adalah terutama bagi sekolah dan pemerintah buatlah sekolah
yang menyenangkan bagi muridnya karena Akibat kurikulum yang terlalu berat
menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena
siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan
masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah
tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai
aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya membebani atau bahkan menakutkan.
Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di jalan-jalan
dari pada mengikuti pelajaran di sekolah.
Kecerdasan emosional siswa meliputi
kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan
hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah
memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan,
bisa melobi, dan bisaMempengaruhi manusia lain.
Siswa
yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk
berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang
yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah
hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga
tidak bisa “membedakan” musuh. Tolak ukur seseorang dianggap “kawan” atau
“musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai
seragam sekolah “lawan” harus di musuhi.
Seragam
sekolah menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih
kedisplinan, tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan
identitas kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah
juga tidak bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga
mengundang masalah sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak
diwajibkan mengenakan seragam.
Itulah
beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah
diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu
berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan terus
berusaha dan tak kenal menyerah.
No comments:
Post a Comment