Thursday, April 21, 2016

PEMILIH PEMULA DALAM PILKADA

TUGAS 2
BAHASA INDONESIA 2
RISKA MAHARANI PUTRI
17113796
3KA11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Selain itu pemilu merupakan bentuk pemenuhan hak asasi warga negara dibidang politik. Setiap wilayah memerlukan sosok pemimpin guna mewakili masyarakat dikawasannya. Calon pemimpin dipilih dengan berbagai kriteria, salah satunya mampu memajukan dan mensejahterakan rakyatnya. Adapun pemilihan kepala daerah (Pilkada) meliputi: Pemilihan Gubernur untuk tingkat Provinsi, pemilihan Walikota untuk tingkat Kota, dan pemilihan Bupati untuk tingkat Kabupaten. Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) diselenggarakan 5 tahun sekali, dan dipilih secara langsung oleh masyarakat. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan ritual politik 5 tahunan di Indonesia. Bentuknya bisa berupa pemilihan presiden, anggota legislatif -- DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Juga wali kota, bupati, hingga gubernur.
Dari pelaksanaan agenda rutin ini, selalu saja yang menjadi pokok persoalan, sebelum hingga usai pelaksanaan, yakni Daftar Pemilih Tetap (DPT). Meski pemilih hanya dijadikan objek bukan subjek, namun keberadaan mereka sangatlah penting dalam setiap pemilu. Maka sangat wajar jika keputusan mengenai DPT selalu berlarut-larut. Bahkan usai pe milihan pun, DPT tetap saja dijadikan salah satu dasar pengajuan gugatan dari para calon yang kalah.
Sudah diketahui para pemilih yang merupakan warga negara berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara atau sudah menikah serta tidak kehilangan hak pi lih. Karena itu, para calon pemimpin di daerah maupun di pusat, berlomba-lomba agar para pemilih potensial yang mereka miliki masuk dalam DPT. Dari pemilih tersebut, salah satu yang cukup signifikan yakni pemilih pemula atau para pemilih yang baru pertama kali mengikuti seremoni pemilihan 5 tahunan tersebut. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan angka pemilih pemula pada 2014 kemarin adalah mencapai 15 persen dari total pemilih.Karena itu,para calon berlomba-lomba berusaha merebut simpati para pemilih pemula.
Pemilih pemula usia SMA memang menjadi segmen yang unik, seringkali muncul kejutan dan menjadi kuantitas. Sebenarnya pemilih pemula bisa ditempatkan sebagai swing voters yang sesungguhnya. [emilih politik mereka belim dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal. Pemilih pemuda mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orang tua hingga kerabat. Kondisi tersebut tampak jika merunut perilaku pemilih pemula pada beberapa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hasil jajak pendapat pasca-pemungutan suara pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (8 Agustus 2007), menunjukkan orangtua adalah yang paling memengaruhi pilihan para pemilih pemula. Teman dan saudara juga ikut memengaruhi namun dengan persentase yang lebih kecil (Litbang Kompas, 2007)

1.2  RUMUSAN MASALAH
Maka masalah pokok dapat dijabarkan menjadi masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses sosialisasi pemilukada yang diselenggarakan KPU Provinsi DKI Jakarta kepada pemilih pemula?
2.      Hal apa yang dilakukan KPU dalam menghadapi pemilih pemula?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pemilih Pemula
Berdasarkan UU No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20men yebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesiayang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesiayang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yangmempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuanUndang-Undang Pemilu.
Data dari komisioner KPU Pusat menyebutkan bahwa jumlahpemilih pemula pada Pemilu 2014 kemarin yang berusia 17 sampai 20 tahun sekitar14 juta orang, sedangkan yang berusia 20 sampai 30 tahun sekitar 45,6 juta jiwa.Dari data tersebut, pemilih pemula merupakan pemilih yang dinilai sangatpotensial.
Pemilih pemula sebagai bagian dari seluruh pemilih di Indonesia yang memiliki peran besar bagi kemajuan bangsa tidak boleh menganggap remeh dunia politik, khususnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilih Pemula Menentukan Pilihannya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi pemilih pemula dalam menentukan pilihannya dalam pemilu.Menurut Nursal (2006 : 72) faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut :
1.                  Social Imagery atau Citra Sosial (Pengelompokan Sosial)
2.                  Identifikasi Partai
3.                  Emotional Feeling (Perasaan Emosional)
4.                  Candidate Personality (Citra Kandidat)
5.                  Issues and Policies (Isu dan Kebijakan Politik)
6.                  Current Events (Peristiwa Mutakhir)
7.                  Personal Events (Peristiwa Personal)
8.                  Epistemic Issues (Faktor-faktor Epistemik)
Selain faktor faktor diatas, media massa juga sangat berpengaruh terhadap penentuan pilihan bagi pemilih pemula. Media massa membe ntuk opini publik sehingga pemilih pemula cenderung memilih berdasarkan iklan politik dan bukan rekam jejak calon. "Jika tidak hati-hati memang orientasi pemilih pemula akan digiring pada salah satu peserta pemilu sehingga menjadi kerugian besar," jelas s e orang mahasiswi UGM yang melakukan penelitian. Dari penelitian tersebut juga terungkap, 60 persen pemilih pemula itu belum pernah memperoleh sosialisasi pemilu 2014. Selain itu, 65 persen pemilih pemula menyatakan tidak mengetahui jumlah parpol peserta pemilu.
2.2              Dampak yang Dialami Pemilih Pemuda
Pemilih pemula dalam Pemilu 2014 yang mayoritas siswa sekolah menengah umum (SMA/MA) di Yogyakarta ikut menjadi sasaran politik uang oleh calon legislatif maupun aktivis partai.Survei terbaru dari Pu sat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menunjukkan sebanyak 18,88 persen pemilih pemula telah ditembus oleh sogokan uang dan bentuk lainnya selama musim kampanye Pemilu 2014.Koordinator survei Anang Zubaidy menyatakan responden semuanya siswa, tidak masuk kategori simpatisan partai.
Temuan adanya siswa yang juga calon pemilih menerima sogokan menunjukkan sasaran politik uang tidak terbatas simpatisan partai, siswa yang polos ikut disasar. “Pelaku money politik seperti melempar dadu (spekulasi, red) sehingga pemilih pemula ikut menjadi sasaran (politik uang),“ kata dia, Senin (7/4/2014).
Sikap para siswa usai menerima hadiah dari caleg beragam. Sikap paling menonjol menerima tetapi tidak melaporkan ke pengawas atau petugas pemilihan umum (35.75 persen), disusul melaporkan ke pengawas/petugas pemilihan umum (23,66 persen), menerima sekaligus melaporkan ke pengawas (5 persen), menerima lalu menyumbangkan ke orang lain (1.88 persen). Sikap lainnya sebanyak 33 persen meliputo menerima dan menabung uang dari hadiah, menerima tetapi tidak memilih orangnya, memilih pemberi uang, menerima dan menolak terpengaruh hadiah tetapi takut melaporkan pemberi. Ketika ditanya sikap mereka terhadap politik uang, mayoritas siswa yang menjadi responden (85.10 persen) sepakat pelaku harus diberantas, alasannya merusak moral dan politik, dosa. Pemborosan, menyebablan ketidakadilan.
Adapun minoritas siswa menjawab politik uang boleh dan biarkan saja sebanyak 2.96 persen responden, dengan alasan penegak hukum sulit membuktikan tind ak pidana politik uang, masyarakat membutuhkan, tuntutan bagi caleg merebut suara, tidak melanggar hak asasi. Anang Zubaidy yang menjabat Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII, menyatakan fenomena pemilih pemula menjadi sasaran politik uang tim sukses maupun caleg sebagai pendidikan politik yang tidak baik. Tindakan gratifikasi kepada calon pemilih tersebut, menurut dia, sebagai cerminan komunikasi yang buruk antar calon dan tim sukses. Caleg mencurigai lawan politik menebar uang, maka ia me lakukan tindakan serupa dengan asumsi jika tidak ikut bisa kalah atau tidak meraih suara memadai.
Menyangkut efektivitas caleg atau tim sukses “nyawer“ ke pemilih pemula, menurut dia besar kemungkinan tidak efektif. Asumsi dia bahwa pemilih pemula sebagai kategori pemilih idealis, yang masih memilah siapa caleg yang memadai, ketika mendapatkan tim sukses dan caleg nyawer ke mereka justru mendorong mereka tidak memilih alias golput. “Politik uang bisa menjadikan mereka (siswa sebaga pemilih pemula) malas ke TPS (tempat pemungutan suara). Pengalaman Pemilu 2004, para pemilih pemula menunjuk pemilu tidak jurdil maka mereka mãlas mencoblos. “Dia menduga uang caleg untuk nyawer siswa-siswa pemiluh pemula hanya melayang dan menyebabkan mereka habis uangnya, sementara pemiluh pemula tidak memilih pemberi uang.

2.3            2. 3 Hal-Hal yang Harus Dilakukan KPU agar Pemilih Pemula Memiliki Pandangan yang Luas Tentang Pemilu dan Kandidat-Kandidat yang akan Dipilih
Perilaku pemilih pemula yang cenderung tidak peduli dan labilterhadap dunia politik yang menyebabkan kesadaran berpolitik kurang danmengakibatkan partisipasi dalam pemilihan umum menjadi rendah. Hal tersebutperlu segera diatasi oleh KPU sebagai lembaga pemilihan umum di Indonesia, sebab pemilih pemula penting karena apa yang menjadi pengalaman pertama akan tertanam bagus di dalam otak mereka.
Pendidikan politik untuk pemilih pemula sebagian besar diperoleh dari informasi mediamassa yang cenderung menampilkan sisi buruk dari perilaku elite politik dan inimempengaruhi minat pemilih pemula. Hal ini mengakibatkan pendidikan politikbagi pemilih pemula menjadi tidak optimal dan seharusnya di hindari olehpelaku-pelaku media massa yang tidak hanya mencari keuntungan saja.
Pendidikan politik (civil education) yang terstruktur dan kontinu bagi pemilihpemula perlu digelar untuk meningkatkan partisipasi dalam pelaksanaan pemilu.Kebijakan ini penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalampelaksanaan pemilu khususnya pemilih pemula dengan menggunakan hak suaranya. Hal ini juga menjadi investasi bagi KPU untuk pemlihan selanjutnya agar menciptakan pemilih pemula yang mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pemanfaatan media sosial sebagai sarana sosialisasi mempunyai banyak keuntungan,diantaranya ialah biaya yang relatif murah, bisa diakses oleh semua kalangan,dan tidak terbatas ruang dan waktu. Hal ini menjadi potensial untuk sarana sosialisasi, baik dilakukan oleh KPU maupun yang dilakukan oleh partai politik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus meningkatkan sosialisasi pemilu kepada pemilih pemula. Sebab, sosialisasi kepada pemilih pemula dinilai masih minim. Menurut Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo, KPU harus lebih gencar dalam menyosialisasikan programnya kepada pemilih pemula itu. Pas alnya, pemilih pemula pada Pemilu 2014 memiliki potensi suara sangat besar. “Kalau ada sekitar 14 juta jiwa (pemilih pemula) itu sudah hampir setengah kursi Senayan. Fokus kepemiluan itu wewenang KPU, termasuk keharusan sosialisasi terhadap pemilih pemula,” kata Arif, Ahad (28/7).Memang, menurut Arif, partai politik (parpol) dan masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk turut serta menyosialisasikan pemilu. Tetapi sebagai penyelenggara pemilu yang telah diamanatkan Undang-Undang, KPU harus melakukan sup ervisi untuk mengoptimalkan sosialisasi. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga bisa melakukan upaya pengawasan dini dengan kelibatkan keikutsertaan pemilih pemula, seperti pelajar dan mahasiswa.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, dalam daftar pemilih sementara (DPS) tercatat jumlah pemilih pemula mencapai 14 juta jiwa. “Pemilih pemula untuk usia 17 sampai 20 tahun ada 14 juta. Untuk usia 20-30 ada 45,6 juta,” kata Ferry.
Menurut Ferry, pemilih pemula mayoritas memiliki rentang u sia 17-21 tahun, kecuali karena telah menikah. Dan, mayoritas pemilih pemula adalah pelajar (SMA), mahasiswa, dan pekerja muda. Pada Pemilu 2004 ada 50.054.460 juta pemilih pemula dari jumlah 147.219 juta jiwa pemilih dalam pemilu.Jumlah itu mencapai 34 p ersen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu.
Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah perolehan suara parpol terbesar pada waktu itu, yaitu Partai Golkar yang memperoleh suara 24.461.104 (21,62 persen) dari suara sah. Sedangkan pada Pemilu 2009, potensi suara pemilih pemula tetap signifikan.
Untuk melakukan sosialisasi tehadap pemilih pemula, KPU dikatakan Ferry telah memulai kerja sama dengan Forum Rektor. Kerja sama ini untuk melakukan program sosialisasi, seperti Goes to Campus. KPU juga bekerja sama dengan LSM pemantau pemilu dalam menggiatkan pendidikan politik bagi pemilih pemula. Bahkan, KPU mengoptimalksan sosialisasi melalui media internet dan jejaring social, seperti Twitter danFacebook.
Di pihak lain, sejumlah partai mulai berlomba merebut simpati pemilih pemula. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, sudah mengincar suara pemilih pemula sebagai lumbung suara di pemilu 2014. “Jumlah pemilih pemula saat ini mencapai 25 persen dari total jumlah warga Indonesia yang tercatat sebagai daftar pemilih sementara atau DPS. Dengan jumlahnya yang banyak tersebut harus diberikan pembelajaran politik yang baik,” kata Ketua DPP PPP Reni Marlinawati.
Menurut Reni, untuk bisa meraup suara pemula, pihaknya sering melakukan diskusi publik yang pesertanya p emilih pemula. Ini untuk memberikan pembelajaran bagaimana cara memilih partai dan calon legislatif yang tepat sesuai hati nurani mereka. Selain itu, pemberian pembelajaran politik dengan cara tatap muka dan berkomunikasi langsung dengan para pemilih pemu la. Cara ini diharapkan bisa mendongkrak suara PPP.
PPP menilai, strategi dialogis mendekati pemilih pemula akan lebih efektif ketimbang kampanye terbuka mengandalkan popularitas, seperti artis. “Pemilih pemula ini perlu mendapatkan pembelajaran politik yan g baik. Jangan sampai menjadi skeptis atau percayanya seseorang terhadap hal yang masih belum terbukti kebenarannya apalagi sampai apatis yang bisa menurunkan citra politik dan politisi di negeri ini,” kata Reni.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada menunjukkan perbedaan yang beragam didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar konsep berpolitik di tingkat persekolahan. Pada umumnya pengalaman tersebut didapat sebatas dalam pemilihan ketua OSIS atau ketua kelas dan pemilihan lainnya. Hampir 60% siswa senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ikut aktif berpolitik telah menjadi kekuatan individu siswa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

REFERENSI
media politik-mempengaruhi atau dipengaruhi, Kompasiana online.
Sosialisasi pada Pemilih Pemula Minim, Republika online.
Nasrullah, Muhammad, 2 April 2014, Potensi Pemilih Pemula, Tribunnews.com.
Pemilih Pemula jadi Sasaran Politik Uang, PikiranRakyat.com
Survei UGM: 65% Pemilih Pemula Buta Parpol & Pemilu, Okezone.
http://repository.upi.edu/


No comments:

Post a Comment