Sebutan "Baduy" merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti yang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden)
seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama hampir sama juga, yaitu suku
Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan
Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten yang enggan untuk menerima
ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi Muhammad Saw. Dan atas
sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka diasingkan ke daerah
pedalaman.
Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagaiurang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna,
1993).
Bahasa yang mereka gunakan adalah
Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar
mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya
tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal
sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka.
Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa
mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun
fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha
pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca
atau menulis.
Masyarakat Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari
keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan dan
teknologi.Wilayah Baduy Dalam, yang berada di pedalaman hutan, masih terisolir,
dan belum tersentuh modernisasi. Kebudayaan mereka masih asli, peraturan yang
tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya budaya berjalan kaki, tidak
memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya
mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang dijahit sendiri, dan semua hal
yang tradisional dan tidak merusak alam. Di perkampungan Baduy tidak ada
listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal,
tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi
pemukiman penduduknya sangat sederhana. Aturan adat melarang warganya
untuk menerima modernisasi pembangunan.
http://putritiarniyasin.wordpress.com/2014/01/13/di-balik-baduy-yang-sebenarnya/
No comments:
Post a Comment