Thursday, May 8, 2014

BADUY DITENGAH-TENGAH ZAMAN MODERN

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti  yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok  yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden) seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama hampir sama juga, yaitu suku Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten yang enggan untuk menerima ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi Muhammad Saw. Dan atas sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka diasingkan ke daerah pedalaman.
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagaiurang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Masyarakat Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan dan teknologi.Wilayah Baduy Dalam, yang berada di pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum tersentuh modernisasi. Kebudayaan mereka masih asli, peraturan yang tetap dipegang teguh hingga kini diantaranya budaya berjalan kaki, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna hitam/ putih yang dijahit sendiri, dan semua hal yang tradisional dan tidak merusak alam. Di perkampungan Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana.  Aturan adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan.


http://putritiarniyasin.wordpress.com/2014/01/13/di-balik-baduy-yang-sebenarnya/

No comments:

Post a Comment