Wednesday, June 29, 2016

Kebahagiaan Martabak

Cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman teman saya yang diceritakan beberapa bulan lalu dan ditulis untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia 2.


Malam itu udara Bogor dingin sekali, di perjalanan pulang menuju rumah saya, ada satu gerobak yang masih terang benderang, menyala, dengan mas-mas kece yang kemudian saya ketahui bernama Mukhlis, si Empunya Gerobak. dari kejauhan saya tau bahwa dia menjual martabak, kenapa? karna ada Tulisan MARTABAK, tertera dengan ukuran besar di bagian luar Gerobaknya.
Perlu anda ketahui bahwa saya agak sok akrab dengan siapapun, termasuk dengan mas Mukhlis yang saat itu belum saya kenal, saya memarkir motor saya di depan Gerobaknya dan kemudian bertanya dengan lemah lembut padanya, "belum habis kan mas?"
Dia menjawab dengan gaya yang lebih lemah dan lembut "masih mas". Sungguh kaget bukan main, Badannya Tegap, Tinggi Menjulang, tapi timbre suaranya seperti Syahrini. Dunia ini memang penuh sandiwara. Ternyata dia tidak sesangar dada bidangnya, dari situlah kemudian saya mulai berani untuk bertanya lebih jauh dan mengenalnya.
"buka sampai jam berapa mas?" tanya saya
"sampai jam 11 mas" jawaban yang dingin
Awalnya saya agak ragu untuk melanjutkan percakapan, tapi kemudian saya tetap mengajukan pertanyaan basa-basi.
"ooh begitu, saya pesan martabak telurnya 2 ya mas" saya mulai memesan dan dia mengangguk sebagai tanda paham.
"baru pulang kerja mas?" tanya dia mengisi keheningan kami berdua
“iya mas, habis lembur saya" jawab saya, mungkin seperti curhat, tapi sebenarnya saya memang ingin curhat..
"wah hebat ya, masnya kerja dimana?"
"saya kerja di kuningan mas, hebat apanya mas, kerja tuh cape, enak kaya masnya gini, usaha sendiri."
Ini jelas adalah kalimat yang saya lontarkan untuk membuatnya merespon lebih mendalam, dan kemudian hasilnya tidak mengecewakan.
"mas ini masih muda sepertinya ya, tapi sudah kerja, kalo boleh tau umurnya berapa mas?" tanya dia
"Umur saya 20, kalo masnya berapa?" saya bertanya kembali,
"coba tebak umur saya berapa?" dia mulai mencairkan suasana, sepertinya saya harus mulai melambatkan tempo dan melebarkan senyum agar dia nyaman, dan saya melakukannya.
"umur mas pastilah 24, betul kan?"
"aduh belum deh sepertinya mas, saya kelahiran tahun 1996, jadi belum segitu kan umurnya?"

Hening. saya kaget bukan main, dan kali ini saya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget, pantas saja dia minta saya menebak berapa umurnya, ternyata sudah banyak orang yang menanyakan hal yang sama.
"ah mas yang bener, lebih tua saya dong berarti? tapi ko mas badannya gede banget gini ya?" bila anda ingin tahu, tinggi saya sekitar 170 cm-an, dia mungkin lebih tinggi 10 atau 15 cm dari saya.
"ya mungkin, saya 19 tahun, baru 2 minggu yang lalu ulang tahun" ucapnya penuh kebanggaan
"aduh hebat sekali masnya ini, masih anak-anak tapi punya usaha sendiri, keren mas!" puji saya dengan 2 jempol yang diidentifikasikan kebanyakan orang sebagai pengakuan terhadap kehebatan orang lain.
Saya mulai punya firasat bahwa saya harus mengenal orang ini dan kemudian mengambil inspirasi darinya, tanpa ragu saya memperkenalkan diri saya.
"namaku Satrio mas" saya menjabat tangan kokohnya, sungguh tangan impian para wanita.
"Nama saya Mukhlis" jawabnya
"oke, Mas Mukhlis belum menjawab pertanyaan saya"
"Pertanyaan yang mana toh mas?" tanya dia kebingungan
"badan mas nih besar sekali makan apa? tanya saya meniru aksen jawanya yang khas.
"ahahaha, kalo itu juga banyak yang bilang mas, saya selalu jawab kuncinya ya pikiran kita"
"maksudnya" saya terlambat paham
"gini loh mas, mau makan seenak apapun, kalo pikiran mas jalan terus, pusing terus, stress terus, galau terus, gaakan pernah gede badannya"
Saya paham bahwa ini kurang masuk akal pada awalnya, bagaimana tidak, jelas tidak ada korelasi yang mutlak antara pikiran dan badan yang tumbuh besar, ternyata saya salah soal ini.
"aduh aku masih bingung mas"
"gini loh mas" awalan yang santai untuk kalimat yang serius berikutnya.
"mas suka banyak pikiran ndak?" tanyanya kemudian.
"iya saya mikir mas, soal masa depan, hidup yang lebih baik, dan soal jodoh." jawab saya dengan tatapan nanar penuh kejujuran.
"nah itulah masalahnya mas, kebanyakan orang sekarang tuh mikir kalo kita nih siapin masa depan terus, kerja terus, padahal pikiran juga harus istirahat toh mas?" sahut dia melanjutkan
"saya kaya begini karna saya menikmati hidup, makan, tidur, gausah mikir apa-apa, saya gapunya pacar, tapi saya ga galau, karna kita hidup ya harus hidup mas, bukan hidup untuk mikir terlalu keras"
Kalimat ini sungguh merubah pandangan saya saat itu, kalimat dari seorang anak kecil sekaligus penjual martabak ini memberikan ilham seketika untuk saya, pemikiran yang luar biasa, "gumam saya dalam hati"
"wah berarti masnya gapernah mikir masa depan ya?
"ga mas, saya pusing, jalanin aja sebisa saya"
"terus mas mau selamanya jual martabak gitu?"
"kenapa ndak? jualan ini saya bisa 500 perhari mas, bukan sombong, tapi cukuplah untuk bayar cicilan motor dan makan nasi tiap hari"
Saya makin kagum dengan dada bidang orang ini, ups salah, maksud saya orang ini, bila pendapatan perharinya dikalikan 1 minggu, sama dengan penghasilan saya sebagai karyawan satu bulan kerja! dunia ini panggung sandiwara.
"wiiiih, hebat mas, ko mas pinter banget sih? tanya saya sedikit bercanda
"aku ndak pinter mas, cuma berpikir beda dari orang lain aja, masnya punya smartphone?"
"punya, kenapa mas?
"smartphone itu teknologi buatan manusia mas, teknologi buatan allah lebih canggih" menunjuk ke dahi, saya sempat salah tangkap, saya pikir maksud dia adalah dahinya yang nongnong, padahal maksudnya adalah pikiran....
"pikiran?" tanya saya pura-pura bingung
"betul, kebahagiaan, sakit, sehat, semuanya dari pikiran kita mas, kalo mas pikir mas bahagia hanya karna uang, maka mas salah besar, saya bahagia walau jual martabak, saya ndak malu, karna ini buat saya bahagia." ucapan terakhir darinya yang membuat saya bergeming tak karuan, sungguh 5 menit waktu yang berharga.
"ini mas martabaknya"
Saya mengambil pesanan saya, kemudian mengeluarkan uang dari saku dan membayarnya. Tanpa berlama-lama saya bersiap pulang, selepas kemudian saya berbalik menoleh dan berkata "Terima Kasih banyak mas, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawabnya dengan senyum ikhlas.
Sampai rumah, tak ada yang tergaung dalam telinga saya selain aksen dari si Mukhlis ini, dia sungguh menginspirasi, saya berpikir bahwa saya akan bahagia bila saya punya banyak uang, saya memilikinya sekarang, tapi rasanya tak pernah cukup, saya bertanya-tanya pada allah, kenapa tak pernah cukup, dan allah memberikan jawaban melalui Mukhlis. Sekarang saya tahu bahwa kebahagiaan itu ada dipikiran kita, kita bisa bahagia kapanpun kita mau, karna pikiran kitalah kita stress, kita galau, kita sedih, semuanya dari pikiran, Teknologi paling hebat ciptaan Tuhan, karna itulah teman-teman, Gunakanlah Teknologi itu sebaik mungkin. dan ingatlah kalimat ini baik-baik.
"kita hidup untuk hidup, bukan untuk mikir terlalu keras"

Tergantung kita memaknai hidup, deskripsi bahagia sangat sederhana yaitu dengan bersyukur. Bagi Mukhlis bahagia se-sederhana itu, se-sederhana pemikirannya dan se-sederhana memaknainya. Bahagia bisa didapat secara gratis!

No comments:

Post a Comment